Bertemu Dengan Banyak Karakter Dalam Perjalanan Absurd Banyu Biru

Maret 11, 2021

Arti harafianya adalah air biru. Jauh sebelum film I'm Thinking Of Ending Things beredar, di Indonesia sudah ada film yang hampir semacam itu di Banyu Biru ini. 

Meski demikian, tidak adil rasanya membandingkan kedua film tersebut. Sebab, saya yakin Banyu Biru pun pasti terinspirasi dari film lain buatan Amerika yang lebih absurd dari ini. 

Posternya menggambarkan Banyu, si lelaki berbaju biru, yang duduk di atas kapal di hamparan Banyu yang luas. Dari hal tersebut saja sudah lumayan tergambarkan kekuatan tematik dari film ini.


Selain itu, penceritaan juga masih terlalu linear dan cenderung bisa diikuti. Sehingga, harusnya sih film ini aman bagi segala kalangan. 

Kapal dan hamparan laut luas bagai bertanya, di hamparan laut luas ini, dengan kapal sekecil itu, kemanakah kau akan menuju? 

Scene favorit saya adalah adanya penggambaran atas hubungan masa depan dan masa lalu. Perubahan yang terjadi secara konstan menyisakan tanya, seperti apa perubahannya? Baikkah? Burukkah? 

Seperti ketika, Banyu kembali pulang ke rumah masa kecilnya. Keadaan rumahnya kini lapuk dimakan waktu. Ruang-ruang yang tadinya membawa kehangatan, telah menjadi kotor, sepi, dan dingin.

Adapula scene ketika mengikuti Banyu yang datang ke kawinan omnya. Tempat penerima tamunya, kotak amplopnya yang diselubungi kain kinclong, janur kuningnya, prasmanannya, hingga pengantin dan riasannya. Meski norak, tapi malah terasa menarik karena justru disitulah letak ke-Indonesiaannya.

Selain itu, karakter abang supir truk dan penjaga warung kopi sepertinya juga berdampak serius pada saya. Sebab, saya jadi terus teringat akan scene mereka. Keren. 

Sisi absurd-nya muncul pertama kali ketika Banyu sedang bekerja di supermarket, dan ada seorang karyawan yang berjalan dengan langkah cha-cha (kalau bukan cha-cha mohon cmiiw).

Selain itu, pengambilan gambar yang bergoyang-goyang juga menambah kesan absurdnya. 

Seperti ketika Banyu sedang duduk dan berbincang dengan Ayah. Film ini mengingatkan saya akan rasa ketika saya menonton film omnibus empat musim dan film Shindo. Agak sama dengan kedua film tersebut, film ini juga tidak terlalu lebay dalam mengekspresikan emosi dan gesture. 

Ah! Memang, ada gesture berulang-ulang yang Banyu lakukan seperti menekan mata atau mengelus kepalanya sendiri. Tapi itu hanyalah gesture kebiasaan, bukan gesture untuk menunjukkan maksud tertentu. 

Selain itu, relasi antar karakter cenderung digambarkan dengan dialog-dialog verbal. Dengan intonasi yang cenderung datar-natural. Jenis intonasi yang masih saya minati. Sebab, ada beberapa film, dimana intonasinya jadi terasa lebih tinggi dari intonasi yang ada di kehidupan sehari-hari. 

Contohnya, misalnya, ketika kamu menyahut ke seberang ruangan ‘Babe... aku pergi dulu ya’, tapi dalam scene di film, kamu berbicara seperti itu pada orang yang duduk tepat di sebelah kamu. Seperti itu maksudku atas intonasi yang lebih tinggi. Dan itu agak ganggu sebab terasa tidak natural.

Endingnya... 

Ending film ini termasuk yang worth-it untuk ditunggu dan ditonton. Tiba-tiba film ini menjadi sebuah film percintaan platonik yang membuat kita bisa mengatakan dengan lantang ‘yah begitulah hidup’.

Sangat terasa sekali bagaimana adegan ending menjadi klimaks atas pencapaian kebahagiaan Banyu. Dan itu amatlah brilian. Sebuah adegan simple yang teramat meninggalkan kesan. 

Pemeran Banyu sepertinya merupakan pemeran karakter yang baik. 

Benar-benar jenis pemeran film yang sangat ingin saya lihat kembali untuk berperan dalam karakter berbeda lainnya. Peran serius lainnya. Misalnya saja berperan sebagai super villain atau drama-drama percintaan sweet ala Korea, dengan tambahan twist menarik. 


REVIEW 

|||||||{{{

Anda telah membaca artikel Anonum Indonesia

Mungkin Disukai

0 komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.