The Wolf Of Snow Hollow, Komedi Tapi Brutal Dan Horor
Oktober 30, 2020
Adegan dibuka dengan sepasang kekasih masuk ke sebuah lodge yang mereka
sewa untuk berlibur. Pasangan ini tipe-tipenya remaja populer khas
Amerika. Cowoknya bertubuh kekar, khas pemain American Football. Ceweknya
berambut blonde, bertubuh kurus, khas pemandu sorak.
Adegan berganti di lokasi tempat makan. Pasangan ini sedang menikmati makan malamnya ketika ada warga lokal yang sedang membahas sesuatu sambil teriak-teriak. Si cowok merasa agak terganggu dengan nada tinggi tersebut, sehingga dia pun meneriaki warga lokal tersebut untuk diam.
Sebagai warga lokal, akamsi, empunya daerah. Apa yang akan lo lakukan kalo ada pendatang berani-beraninya neriakin elo. Mao dia yang bener juga lo pasti naik pitam ya ga sih. Begitupun si warga lokal ini. Tadinya dia mao rusuhin, untungnya ada temannya di bagian belakang, yang kalau di kamera terlihat ngeblur, menengahi/menghentikan terjadinya keributan.
Maka pasangan ini pun kembali ke lodge mereka dan melanjutkan aktivitas. Mereka mulai bersantai. Si cowok kemudian kita dapati sedang mandi. Sementara si cewek sedang ngecek sesuatu. Di luar lodge, si cewek ini kemudian terlihat terpana akan sesuatu. Dan disitulah cerita benar-benar dimulai.
Film ini mampu menarik saya hanya dari posternya saja. Kalau dari jauh berwarna merah minimalis dengan warna putih yang semakin ke atas semakin terlihat seperti ceceran salju terbawa tapak kaki.
Sementara, setelah saya lihat lebih dekat, poster film ini memberikan nuansa negeri dongeng. Sehingga, bagi saya, visual tersebut menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik. Dongeng macam apa lagi nih yang akan saya dapatkan?
Untuk visualnya terasa sangat indie. Minimalis.
Untuk dialognya. Sangat random.
Ah, dari dialog dan karakter di dalamnya. Saya menyimpulkan, bahwa film
ini semacam bergenre komedi-dongeng. Sangat komikal namun ada hal brilian
yang terasa ketika menontonnya.
Relasi per karakter juga sangat menarik untuk di ikuti.
Untuk pahlawannya... AH! Setiap dongeng memiliki pahlawan. Tapi, kalau
saya mengukuhkan tokoh tersebut sebagai pahlawan. Maka, rasanya kok enggak
banget pahlawan kayak begitu.
Sebenarnya bukan karena dia tidak pantas, namun sosoknya dibuatlah
menjadi sangat manusiawi sehingga membuat saya sebagai penonton ragu
dengan kepahlawanannya, yang dalam penceritaan malah cenderung di
hidup-matikan secara konsisten.
Masalah moral yang tersirat adalah mengenai kepercayaan orang awam
terhadap polisi. Polisi di mata penduduk biasa seperti pisau tumpul yang
selalu meminta untuk di asah berulang-ulang, namun tidak juga bisa dipakai
untuk motong bumbu dapur.
Mindset warga pinggiran juga digarap dengan apik. Warga pinggiran yang
kurang inisiatif. Berpikiran sederhana. Selalu bertanya-tanya apakah yang
dilakukannya benar atau tidak. Serta, warga pinggiran yang hanya akan
bersikap sewajarnya dan tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.
Pembentukan mindset tersebut benar-benar berhasil mengunci otak saya di
sana. Sehingga, saya pun juga ikut tidak bisa mencurigai siapapun yang
berasal dari warga setempat sebagai penjahatnya. Ikut menganggap bahwa
semua orang baik-baik saja.
Hal brilian ini terus menerus terjadi bahkan hingga seperlima terakhir
film ini ketika emosi sudah menjadi anti-klimaks. Di mana pada saat itu
saya pun bergumam, OH! Ceritanya gini doang. Tapi, eh... ternyata masih
juga berlanjut.
Hingga akhirnya terjadi lagi sebuah twist cerita. Dan kemudian, berakhir
dengan happy ending. Tidak menggantung. Kelar. The End.
Meski film ini adalah film level B. Namun, saya puas banget menontonnya.
Film ini mengejutkan dan tidak terduga.
Review
||||||||{{
Anda telah membaca artikel Anonum Indonesia
0 komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.