The Call, Merubah Hal Yang Harusnya Tidak Diubah Di Masa Lalu

Januari 18, 2021


The Call merupakan film yang dapat memberi gambaran apabila seorang serial killer yang harusnya terbunuh, dibiarkan tetap hidup. 

Meski di awal, film ini berhasil membuat saya berempati dengan karakter killer, gara-gara karakter ibu, menjadi satu-satunya karakter antagonis. Namun, dengan berjalannya waktu, saya menyesali penempatan empati saya yang salah. 

Artinya, saya masih dapat dengan mudah dimanipulasi oleh sebuah perilaku manusia yang kasat mata. Kembali merenungi bahwa, kita benar-benar tidak pernah tau terhadap alasan dibalik perilakunya, sesuatu yang tak-kasat-mata. 

Selain itu, banyak adegan berlari di film ini. Bolak-balik. Berulang-ulang. Untuk berpindah tempat/mengunjungi tempat lain. Tapi memang ada urgensi di balik kegiatan tersebut. Tapi yang pasti, adegan berlari selalu menjadi suatu hal yang membutuhkan kebugaran tubuh si aktor. 

Pemeran killer sangat mempesona. Gila. Dia berhasil menjadi sangat muda yang masih berapi-api, penuh emosi dalam membunuh dan kemudian menjadi sangat mature, tenang dalam membunuh, seperti suatu hal yang sudah biasa dilakukan. 

The Call juga sama seperti film-film lain yang memberi fokus pada keberadaan rumah. Awalnya, saya sempat mengira bahwa ini adalah film setan sejenis, dimana rumah menghantui pengisinya. 

Itu juga ada benarnya. Namun dengan cara lain yang tidak terbayangkan. Rumah tetap menjadi koneksi antara dunia killer dan dunia si protagonis. 

Bahasan lainnya adalah mengenai relativitas waktu. Bahasan semacam ini juga pernah muncul di film The Notebook. Sebuah film yang diangkat dari novel berjudul sama, ditulis oleh Nicolas Sparks. 

Tapi baiknya saya tidak mengomentari hal tersebut. Dengan begitu, saya bisa menikmati dengan bebas ke mana film ini membawa saya. 

Saya sangat suka temponya. Santai. Perlahan. Tidak terburu-buru. Meski adakalanya terdapat potongan gambar cepat, yang salah satunya untuk menggambarkan karakter lebih dalam. Dan itu berhasil membuat saya seperti mengenal dua karakter utama dengan baik. Mereka seperti benar-benar hidup. Menjadikan mereka seolah-olah adalah tetangga sebelah rumah saya. Sangat dekat. 

Pada akhirnya, timbul satu hal yang ingin saya pertanyakan, kalau untuknya ini sangat mudah, lalu kenapa killer tidak begitu saja membunuh protagonis utama?





REVIEW 

|||||||||{

Anda telah membaca artikel Anonum Indonesia
#KeepUsUp melalui Sprinkle

Mungkin Disukai

0 komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.