Judul film ini benar-benar menjadi kail ampuh untuk saya kemudian berhenti sejenak dari kegiataan nge-scroll halaman lalu memperhatikan lagi lebih seksama poster film ini, serta tak lama dari itu membuat saya jadi masuk ke dalam dunianya.
Biasanya ada hal-hal sentimentil ketika saya memilih film yang ingin saya tonton. Seperti siapa pemainnya, atau produsennya, bahkan sutradaranya. Tapi kali ini saya benar-benar mencoba membebaskan diri saya dan hanya menilai sesuatu dari tampilannya saja. Sangat judge the book from the cover.
Film ini dibuka dengan narasi aksen selatan yang berisi kalimat-kalimat yang sangat random degan potongan klip-klip yang sangat raw, sangat tidak estetik namun entah mengapa tetap memiliki komposisi yang menawan mata.
Hingga masuklah dialog pertama dan seterusnya yang membuat suara Sang Narator perlahan-lahan menghilang.
Seorang perwira
yang baru pulang dari perang. Dia lapar dan masuk ke sebuah kantin. Bertemu pramusaji
baik hati yang bersedia memberikan makanan pada pengemis yang tiba-tiba masuk
ke kantin tersebut. Dia sempat bertukar percakapan sebentar sebelum kembali melanjutkan
perjalan pulang.
Selain perwira itu, ada juga sebuah pertemuan antara pramusaji dengan pelanggannya yang akan menjadi sebuah cerita yang berkelanjutan, yang cukup menarik untuk diperhatikan kemudian.
Plot dan pemilihan
lokasi yang tidak biasa menjadi beberapa daya tarik dari fim ini. Kita terbiasa
merasa “penuh sesak” dengan menonton film yang berlatar lokasi di ruang-ruang
indoor atau sangat studio-nuance. Disini, menontonnya saya seperti merasa
diberikan udara segar tiap kali adegan (scene) berubah.
Semua hal, semua
orang yang diceritakan di film ini benar-benar memiliki perangai baik, namun
abu-abu. Tidak ada yang pasti. Pada dasarnya semua jiwa manusia rapuh. Fragile.
Disinilah mengapa kita memerlukan Tuhan, yang akan menguatkan jiwa-jiwa
tersebut.
Apabila ada yang mau
mengatakan bahwa film ini adalah film religius. Saya akan jadi orang pertama
yang menyetujuinya.
Sebuah perjalan
panjang puluhan tahun dengan satu pengalaman hidup yang tidak akan pernah bisa
merubah manusia dengan sekejap. Seiring dengan perubahan yang terus menerus
terjadi, entah sejak di titik mana, manusia mulai menjadi dirinya.
Apakah itu semua
dirinya. Bagaimana akhirnya ia menjadi dirinya. Tidak terbayangkan bahwa semua
manusia melalui pengalaman-pengalaman yang berbeda. Bahkan untuk beberapa
diantaranya, sungguh tidak menyenangkan. Mengetahui bahwa hal itu salah,
melanggar nurani, namun harus tetap dilakukan.
Lebih dalam lagi,
apabila ingin sungguh-sungguh dipertanyakan. Apa itu setan. Bukankah setelah semua
yang telah dilalui, itu semua hanyalah bertahan hidup. Tidak pernah tahu pasti.
Tapi yang pasti,
beberapa orang baik yang lebay, akan membuat saya lebih berhati-hati lagi. Beberapa dari Anda mungkin akan jatuh cinta padanya dan akan suka berada di
dekatnya (hanya karena mengetahui bahwa dia orang baik).
Namun, kalau
dirasa ada yang janggal. Percayai firasatmu. Sebuah kejanggalan selalu
berdasarkan atas sesuatu... hal... yang juga janggal.
Itu akan
membuatmu tetap waspada, dan bahkan mendahului dia yang ternyata akan segera menekan
pelatuk pistolnya tepat di kepalamu. Apa itu setan. Bukankah itu hanya bertahan
hidup.
Cerita terus
berlanjut hingga akhirnya saya sadar bahwa pemeran utama telah berganti. Semua relasi
terdekat telah diceritakan tuntas. Semua orang jahat sudah binasa. Dan pahlawan
kita ini hanya butuh satu hal. Yakni tetap bertahan dan melanjutkan hidup.
Memulai lagi semuanya
dari awal. Tanpa relasi. Tanpa beban masa lalu. Terbebaskan namun, atas semua
keletihan itu. Pahlawan kita ini ingin istirahat sejenak. Berada di mobil anak
santuy 70’an. Suara radio menyiarkan berita perang dan politik. Segala keletihan
itu ditambah suara monoton membuatnya merasa mengantuk. Kemudian ia menguap dan
kemudian memejamkan mata. Tidur.
-----
Review
||||||||{{
Anda telah membaca artikel dari Anonum Indonesia.
- Oktober 05, 2020
- 0 Comments