Jakarta Biennale #14: Jakarta Maximum City

Januari 12, 2012

The Maximum City: Provokasi Estetika Urban
Di mata para kurator, melalui pengamatan dan studi, Jakarta dianggap sebagai kota yang sesak (the maximum city). Penghuni kota Jakarta saat pulang kantor dikendaraan umum ataupun pribadi, dihunian baik di pusat maupun 4 wilayah kota yang lain tentu tidak banyak bertanya saat mendengar kota yang maximum. Serba penuh dan cenderung tumpah.

Namun berbeda dengan Mumbay [2] kota tempat penamaan maximum city itu berasal. Jakarta meski sama-sama tumbuh dan menjadi penuh dan melebihi kapasitas, memiliki berbagai persoalan yang menyajikan fenomena menarik, terutama karena hadirnya bermacam paradoks yang walau dikotomis tetapi kompromistis. 

Dalam arti, banyak hal yang sebenarnya bertentangan, tetapi ternyata bisa hidup bersamaan, bahkan berdampingan, di kota ini. Budaya kampung yang bisa berdiri sejajar dengan budaya kota. Warga kaya di gedung mewah hidup bersebelahan dengan kaum miskin di tenda-tenda kumuh pinggir sungai. Budaya modern-rasional berdiri sejajar dengan yang tradisional-mistis. 

Begitu pula antara semangat komunal dan individual, paham sektarian-fundamentalis dan multikultursalis-liberalis, atau kesumpekan kawasan miskin dan kota-kota mandiri yang ditata nyaman. Kenyataan akan situasi yang dikotomis dan antagonistis, namun sering hidup berdampingan dan seolah mengambil keuntungan dari situasi yang ada .

Bergelut dengan paradoks Jakarta, niscaya bakal menemukan cara pandang berbeda tentang kehidupan. Paradoks kerap menghadirkan jurang (disparitas) yang dalam antara satu kutub dengan kutub lain yang bertentangan.

Disparitas yang menunjukkan ketegangan tetapi sekaligus dinamika urban di kota, yang menjadi sumber kajian-kajian seni-budaya, dan inspirasi bagi para seniman berkreasi seni. Selain disparitas fisik material yang diisi oleh disparitas budaya yang sesungguhnya kontrovesial, misalnya orang kaya baru dengan budaya kampung dan orang baru (setengah) miskin dengan budaya kota, semua kenyataan kenyataan yang menambah kompleksitas kehidupan. Karenanya sebagai inspirasi, kota (dengan segala paradoksnya) adalah sumber provokasi yang menjanjikan ketidakterdugaan dalam karya seni rupa, terutama seni kontemporer dengan estetika urban.

Kecenderungan kegiatan dan pernyataan seni(rupa) di kota besar seperti Jakarta di mana bidang-bidang yang sebelumnya tidaklah dinyatakan sebagai bentuk senirupa (yang unggul), menjadi salah satu ciri.

Tidak urung pada perhelatan kali ini selain karya-karya para seniman, maka karya karya perancang grafis, pecipta mainan, perancang busana dan disain yang lain menjadi menaraik dan penting ut dihadirkan sebagai karya seni.Hal yang tentunya akan menjadi pertanyaan bagi banyak pecinta seni, namun mungkin tidak demikian bagi masyarakat umum yang telah lama menikmati karya karya popular ini sebagai satu hal yang indah sekaligus bermanfaat.

Cair tetapi tetap tidak menyatunya berbagai unsur yang ada sebagai air dan minyak yang saling mendesak dalam kepadatan kota. Perbedaan antara seni yang dihadirkan diruang publik dan galeri, yang seolah diterima tetapi tidak saat menghadapi pasar. Begitu juga saat membicarakan mana yang lebih ‘jujur’ dan dapat dinyatakan sebagai pernyataan seni, ketegangan kembali terjadi.

Namun diatas segalanya seni rupa urban sendiri kini menjadi tren global. Para seniman yang umumnya hidup di tengah kota, menyerap dinamika serta berbagai masalahnya, dan menyajikannya dalam bahasa visual terkini berdasarkan khazanah seni rupa yang melingkupinya. Tak terpaku dengan ruang-ruang galeri, seni jenis ini sudah melebar masuk ruang-ruang publik kota sehingga sebagian termasuk seni jalanan (street art).

Seni kemudian punya semangat melebur dalam denyut kehidupan masyarakat. Seni bukan lagi sesuatu yang sudah selesai, tetapi juga sebuah proses. Penyajiannya cenderung lintas media, memadukan teknologi terkini, dan bersifat interaktif. Sebagian seniman bergerak dengan basis komunitas. Dan kehadirnannya bukan semata mata untuk menghadirkan karya seni, tetapi lebih pada pernyataan akan kehadirannya di satu kota sebagai, individu ataupun kelompok. Tidak ada yang ingin dimarjinalkan dikota besar, yang di mana-mana mendengungkan kata be your self atau you are special tetapi sekaligus menghadirkan budaya masa yang menghilangkan satu orang dalam kerumuman masa. Kembali satu paradoks.

Walau situasi mutakhir Jakarta ada di kota-kota besar lain di Asia Tenggara seperti Manila, Bangkok, Singapura, Ho Chi Minh, Pnom Penh. Namun para kurator menganggap problem kota Jakarta yang sesak ini berbeda dan memiliki ciri khas yang akan menarik untuk direfleksikan dalam perhelatan seni rupa Jakarta Biennale 2011. Setidak tidaknya lahir pertanyaan; apakah ‘Maximum City’ di Jakarta berkonotasi positif atau negatif?










Jakarta Biennale #14: Jakarta Maximum City.
Pameran dilakukan di Galeri Nasional, Taman Ismail Marzuki dan Mall Central Park 15 Desember 2011 - 15 Januari 2012.

Mungkin Disukai

0 komentar